LELAKI SATU LENGAN

Pagi, sekitar pukul enam, dari lantai enam sebuah hotel di kawasan Gubeng aku melihat aktifitas sebagian masyarakat di kota pahlawan ini. Lalu lalang kendaraan dari berbagai arah mulai memenuhi jalan. Mobil pribadi, angkutan umum, sepeda motor seakan tak ada habisnya melintas. Sesekali becak becak  melintas membawa sayur mayur dan buah buahan. Setumpuk hasil bumi produk masyarakat pedesaan turut mengambil bagian memenuhi kebituhan hidup masyarakat perkotaan.

Mengisi pagi tak hanya diisi oleh mereka yang berkendara. Di sisi kanan di seberang jalan kulihat   seorang pekerja yang membersihkan jalan. Orang menyebutnya pasukan  kuning. Nampaknya ia hampir merampungkan pekerjaannya. Entah mulai jam berapa dia bekerja, yang pasti pekerjaan itu dilakukan ketika jalan masih lengang sehingga dia leluasa membersihkan jalan.

Dari sekian banyak aktifitas di pagi itu tiba tiba mataku tertuju pada  seorang laki laki paruh baya. Berdiri di simpang jalan.  Tangan kanannya  tak sempurna. Di dekat kakinya ada setumpuk surat kabar yang akan ditawarkan ke setiap pengendara kendaraan yang berhenti saat lampu merah. Beberapa eksemplar di pegangnya dengan tangan kiri.  Sesekali ia berjalan beberapa meter menemui calon pembeli yang berhenti agak jauh dari lampu merah.  Entah hingga pukul berapa dia berdiri di situ.
Waktu terus melaju.  Aku beranjak dari jendela tempat aku menikmati pagi, segera bergegas mandi, bersiap diri dan sarapan pagi.

Tempat sarapan ada di lantai satu. Ternyata ruang makan itu sama posisinya dengan ruang kamarku,  menghadap ke jalan.  Aku memilih meja dekat jendela agar lebih leluasa   melihat lagi aktifitas  kota di pagi itu. Kucari sosok penjual koran yang kulihat di kamar tadi. Dia masih ada disitu. Koran yang bertumpuk sudah mulai berkurang. Siapa saja yang beli? Entahlah. Bisa jadi pembelinya adalah  pelanggan atau pembeli tetap yang hampir tiap hari melintas di jalan itu. Bisa juga orang baru yang membeli karena tertarik dengan berita atau gambar yg menjadi headline di surat kabar yang dia jual. Siapapun pembelinya yang pasti bendel kertas berisi berita itu telah berganti dengan lembar lembar berharga disakunya. Lembar lembar yang siap digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Mungkin hasil penjualan itu tak seberapa, mungkin juga ia harus melakukan pekerjaan lain untuk menambah penghasilannya. Namun setidaknya sepagi itu ia sudah bisa menuai rejeki dari hasil kerjanya.

Melalui bapak tua itu aku mengais makna bahwa kondisi tubuh yang tak sempurna bukanlah suatu penghalang. Yang terpenting adalah kemauan dan semangat bekerja, tak meminta minta seperti yang dilakukan beberapa orang yang memanfaatkan kekurangan fisiknya.

Ya, Jika burung burung di udara dan bunga bunga bunga di padang saja dipelihara-Nya apalagi kita manusia. Di setiap kerja dan karya, Ia menyediakan berkat-Nya.

Pagi itu dengan rasa syukur kulanjutkan hari dengan sebutir makna yang melengkapi hidupku.

24 juni 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FILOSOFI BUNGA ANGGREK

MALAM ITU DI GETSEMANI

CINTA