SEPUH TAPI TAK MENJADI SEPAH

Pagi itu Tuhan menyapa lewat seorang ibu tua. Umurnya sekitar 60an, nampak renta. Ia mengetuk pintu pagar berulang-ulang. Aku yang ada di belakang dan sedang bersiap untuk sarapan bergegas ke depan. "Wonten menapa, bu?" tanyaku.

'Karak e wonten tha, nak?"

"Sekedap nggih bu."

Aku masuk ke dalam dan bertanya pada mama persediaan  nasi aking  itu. Ternyata belum ada lagi. Aku segera keluar dan mengatakan kalau  yang dibutuhkannya tidak ada. Si ibu pun berlalu sambil mengucapkan salam. 



Sambil sarapan aku dan mama berbincang tentang ibu itu. Dari mama kuketahui kalau ibu itu suka keliling. Ia berjalan kaki di perumahan tempat kami tinggal untuk membeli karak. Rumahnya sekiitar 10 km dari rumah kami.  Dia membawa kaleng kecil sebagai penakar pengganti timbangan untuk mengetahui berapa kilo yang ia dapatkan dari tiap rumah. Bila mama punya banyak persediaan maka karak pun berpindah tangan. Mama tak pernah mau menerima uang dari ibu itu meski ibu itu menakarnya.

Karak yang didapatnya dijual kembali kepada orang yang membutuhkan untuk pakan ternak.  Hasil penjualannya digunakan untuk beli camilan anak cucu, begitu katanya pada mamaku. 


Renta tapi tak meminta-minta. Selagi bisa perempuan tua itu tetap berkarya. Seperti istilah yang mama pernah bilang sepuh tapi tidak menjadi sepah. Dan aku bersyukur untuk sapaan manis Tuhan di pagi hari itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBILANG WAKTU

FILOSOFI BUNGA ANGGREK

EPISODE KABUT : ELEGI KEMATIAN